Tafsir Surah An-Nuur (24) Ayat 30-31 - Perintah untuk Menundukan (Menjaga) Pandangan

Tafsir Surah An-Nuur (24) Ayat 30-31 - Perintah untuk Menundukan (Menjaga) Pandangan

Tafsir Surah An-Nuur (24) Ayat 30-31 - Perintah untuk Menundukan (Menjaga) Pandangan


a.   Surah an-Nuur (24) : 30-31
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ .وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“ Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kaki-nya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”

b.  Munasabah dan Asbabun Nuzul

1)    Munasabah

Pada ayat sebelumnya Allah Ta’ala, telah menerangkan tentang larangan memasuki rumah orang lain kecuali setelah memperoleh izin dan memberi salam kepada penghuninya. Hal itu dalam rangka mencegah sesuatu yang tidak diinginkan dan melihat aib penghuni rumah, serta rahasia yang ada di dalamnya. Pada ayat-ayat berikut ini Allah Ta’ala menerangkan tentang pedoman pergaulan antara laki-laki dan perempuan yaitu agar menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, guna mencegah hal-hal yang akan membawa kepada kerusakan dan merusak kesucian yang dilarang oleh agama.

2)    Sababun Nuzul

a)      Ibnu Mardawaih[1], meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra. Ia berkata: ada seseorang laki-laki di masa rasul SAW berjalan di sebuah jalan di Madinah lalu ia melihat kepada seorang perempuan dan perempuan itu juga melihat kepadanya kemudian keduanya dirayu syetan sehingga masing-masing tidak melihat melainkan dengan rasa kagum. Pada waktu si laki-laki sedang berjalan di tepi sebuah dinding, ia pun terpancang padangannya kepada perempuan itu tiba-tiba ia terbentur mukanya hingga hindungnya pecah. Kemudian ia berucap: Demi Allah aku tidak akan mencuci darah ini sampai aku datang kepada Rasul SAW memberitahukan ihwalku ini. Lalu ia datang kepadanya dan menceritakan apa yang ia alami kemudian Rasul SAW bersabda: “Itulah hukuman dosamu” kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Katakanlah kepada orang-orang mukmin, hendaklah mereka menundukkan sebagian padangan mereka…..dst”

b)      Ibnu Katsir[2], meriwayatkan  dari Muqatil bin Hayyan dari Jabir bin Abdillah al-Anshari, ia berkata: sampailah berita kepada kami –Allah yang Maha Tahu- bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari mengatakan bahwa Asma’ binti Murtsid berada dalam kebun kurma Bani Haristsah kemudian perempuan-perempuan pada masuk ke dalam kebun itu tanpa memakai kain panjang sehingga tampak kaki-kaki mereka yakni pergelangan kaki serta terlihat dada-dada mereka. Maka Asma’ berkata “Alangkah buruknya ini! Kemudian Allah menurunkan ayat: “dan katakanlah kepada orang-orang perempuan mukminah, hendaklah mereka menundukkan sebagain padangan mereka dan memelihara kemaluan mereka……dst.

Kisah yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, mengenai seorang laki-laki yang melihat seorang wanita dengan detak kekaguman, yang pada akhirnya membuat laki-laki terbentur dan menyebabkan hidungnya pecah. Selanjutnya laki-laki tersebut bercerita tentang peristiwa tersebut kepada Rasul SAW dan turunlah  surah an-Nu>r [24]: 30. Dan kisah yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah al-Anshar, mengenai perempuan Bani Haritsah yang tidak menutup auratnya hingga tampaklah kaki-kaki serta dada-dada mereka. Maka Asma’ berkata alangkah buruknya ini. Dan turunlah surah an-Nu>r [24]: 31. Kedua kisah tersebut merupakan sebab turunnya surah an-Nu>r [24]: 30-31.

c.  Tafsirnya
Ayat ini menggunakan  kata (المؤمنون) al-mu’minu>n yang mengandung makna kemantapan iman yang bersangkutan. Berbeda dengan (ياأيها الذين ءامنوا) ya> ayyuhalladzi>na a>manu> yang digunakan oleh ayat 27 ketika berbicara tentang perizinan masuk rumah. Hal ini menurut al-Biqa>’i mengisyaratkan sulitnya menghindarkan mata di tempat umum, dan bahwa ini hanya dapat dilaksanakan secara baik oleh mereka yang telah mantap iman dalam Qalbunya.[3]

Kata (يَغُضُّوا) yaghud{d{u>  terambil  dari kata  (غض) ghad{d{a  yang berarti mencegah, mengurangi atau menundukkan [4].  Sedang makna kata (البصر) al-Bas}ar, Al-Laits mengatakan “mata”. Ibnu Sayidah mengatakan “indera mata” jamaknya abs{ar. Bentuk fi’ilnya menurut Ibnu Manzhur adalah:  bas}ara bihi bas}ran wa bas}a>ratan. Abs}arahu> wa tabas}s{huratan, yaitu: memandang kepadanya dengan matanya[5]. Menundukkan pandangan disini ialah mengalihkan atau menahan pandangan matanya dari hal-hal yang diharamkan atau yang kurang baik serta tidak melihat kecuali yang diperbolehkan. Jika tanpa sengaja pandangan mengarah padanya, maka segeralah memalingkannya.

Kata (فروج) furu>j  adalah jamak dari kata (فرج) farj yang pada mulanya berarti celah di antara dua sisi. Al-Qur’an menggunakan kata yang sangat halus itu untuk sesuatu yang sangat rahasia bagi manusia, yakni alat kelamin. Memang kitab suci al-Qur’an dan as-Sunnah selalu menggunakan kata-kata halus, atau kiasan untuk menunjukkan hal-hal yang oleh manusia terhormat, aib untuk diucapkan[6].

Ayat di atas menggunakan kata (من) min ketika berbicara tentang (أبصار) abs}a>r/pandangan-pandangan  dan tidak menggunakan kata min ketika berbicara tentang (فروج) furu>j/kemaluan. Kata min itu dipahami dalam arti sebagian. Ini agaknya disebabkan karena memang agama memberikan kelonggaran bagi mata dalam pandangannya, tetapi sama sekali tidak memberi peluang bagi kemaluan untuk selain istri dan hamba sahaya yang bersangkutan[7].

Menurut penulis ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala bagi kaum mukmin agar menahan pandangannya dari perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Seseorang tidak boleh melihatnya kecuali tidak sengaja. Jika dia melihatnya secara tidak sengaja, maka palingkanlah pandangan kalian dengan segera. Hal ini sebagaimana sabda Rasul SAW;

حَدَّثَنِي قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ كِلَاهُمَا عَنْ يُونُسَ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى وَقَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ كِلَاهُمَا عَنْ يُونُسَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ[8]

Telah menceritakan kepadaku Qutaibah bin Sa'id; Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai'; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ulayyah keduanya dari Yunus Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb Telah menceritakan kepada kami Husyaim Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Amru bin Sa'id dari Abu Zur'ah dari Jarir bin Abdullah dia berkata; "Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai penglihatan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan penglihatanku." Dan Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Telah mengabarkan kepada kami Abdul A'la. Ishaq berkata; Telah mengabarkan kepada kami Waki' Telah menceritakan kepada kami Sufyan, keduanya dari Yunus melalui jalur ini dengan Hadits yang serupa.

Demikian pula sabda Rasul SAW kepada Ali ra.;

حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مُوسَى الْفَزَارِيُّ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي رَبِيعَةَ الْإِيَادِيِّ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ[9]

Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Musa Al Fazari, telah mengabarkan kepada kami Syarik dari Abu Rabi'ah Al Iyadi dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ali: "Wahai Ali, janganlah engkau ikutkan pandangan pertama dengan pandangan yang lain (berikutnya), sesungguhnya bagimu pandangan yang pertama tidak pandangan yang lainnya (berikutnya). "

Selanjutnya sabda Rasul SAW yang diriwayatkan Muslim;

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ[10]
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Abu Hisyam Al Makhzumi telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Suhail bin Abu Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berbicara, zina kedua tangan adalah menyentuh, zina kedua kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan."

Hadis di atas merupakan perintah Rasul SAW agar kita menjaga pandangan, pandangan yang ditolerir  hanyalah pandangan yang pertama, sedang pandangan setelahnya terlarang. Mata juga dapat berzina yakni melihat. Saat mata telah melakukan zina maka ia akan menjadi pemicu menuju kepada zina lainnya dan terbesar adalah zina farji. Sebagian ulama salaf berkata, “pandangan merupakan panah yang menembus ke hati”. Karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan agar kita memelihara kemaluan, sebagaimana Dia pun memerintahkan agar menjaga pandangan yang merupakan pemicu untuk berbuat sesuatu yang tidak baik[11]. Karena sejatinya pandangan itu merupakan kontak pertama yang kemudian menggerakan hati menuju kepada zina.

Abul Fajar Ibnul Jauzi, mengatakan bahwa ada seseorang laki-laki Baghdad bernama Shalih, seorang Muadzin selama 40 Tahun. Karena  tidak dapat menjaga pandangannya, membuat ia menjadi seorang yang murtad. Dikisahkan bahwa karena pandangannya yang liar,  membuat ia jatuh cinta kepada seorang Nasrani, lalu ia pun murtad. Namun sebelum ia menikah dengan gadis tersebut ia meninggal dunia, terjatuh dari lonteng[12]. Kisah ini menggambarkan kepada kita bahwa pandangan yang liar tidak hanya menjerumuskan kepada perzinahan, tetapi juga dapat menjerumuskan kepada murtad.

Ibnu Qayyim berkata[13], “Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya untuk menyuruh kaum mukminin agar menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya dan memberitahukan kepada mereka bahwa Allah menyaksikan lagi mengawasi perbuatan mereka”. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut ini:

“… Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. al-Isra> (17) : 36)

Menurut Ibnu Katsir[14], pemeliharaan kemaluan itu terkadang dengan memeliharannya dari perbuatan keji (zina), sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ “dan orang yang memelihara kemaluan-nya”, dan terkadang dengan memeliharanya dari terlihat oleh seseorang, sebagaimana sabda Rasul SAW;

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قُلْتُ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَاهَا قُلْتُ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ فَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْ النَّاسِ[15]

Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Bahz bin Hakim dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, dimanakah kami harus menutup aurat kami dan dimana kami boleh menanggalkannya (tidak terjaga)?." Beliau bersabda: "Jagalah auratmu kecuali dihadapan istrimu atau budak wanitamu." Aku berkata lagi; "Kalau di hadapan sejenis?." Beliau menjawab: "Jika kamu mampu, maka jangan sampai ada orang yang melihatnya!." Aku berkata lagi; "Bagaimana pendapat anda bila kami dalam keadaan sendiri? Beliau pun menjawab: "Di hadapan Allah Tabaraka Wa Ta'ala hendaknya kamu lebih berhak untuk malu daripada di hadapan manusia!."

Firman-Nya “yang demikian itu lebih suci bagi mereka” yakni menundukkan pandangan dan memelihara kemaluannya merupakan perbuatan yang baik dan suci, baik terhadap jiwa maupun agamanya[16]. Dikatakan, “Barangsiapa yang memelihara pandangannya, maka Allah akan memberinya cahaya dalam mata hatinya[17]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”  maka tidak ada suatu perbuatan pun yang mereka lakukan, yang tidak Dia ketahui, seperti cepat-cepat memandang, menggunakan seluruh indera dalam rangka itu, dan apa yang dimaksud dengan perbuatannya.

Menurut penulis, Islam adalah agama yang mudah. Islam adalah agama kemasyarakatan yang real. Maka Allah tidak memerintahkan kita untuk menutup mata ketika berjalan di tengah jalan, tetapi Allah Ta’ala memerintahkan kita agar menundukkan pandangan mata. Yang dimaksud dengan menundukkan pandangan mata adalah menahannya dari hal-hal yang diharamkan atau yang tidak baik. Artinya hendaklah manusia menahan diri dari melihat segala sesuatu yang tidak dihalalkan untuk dilihat.

Menurut Abu Maryam Thariq bin’Athif[18], ada beberapa faktor atau penyebab liarnya pandangan yakni sebagai berikut:
  1. Mengikuti hawa nafsu dan menuruti langkah-langkah setan serta mentaatinya.
  2. Tidak paham terhadap dampak buruk pandangan liar
  3. Adanya kenikmatan semu yang dirasakan dalam jiwa orang yang memandang
  4. Terlalu sering berinteraksi dengan wanita
  5. Bersoleknya kaum wanita ditempat umum
  6. Tidak mau menikah

Selain itu menurutnya, agar kita mampu menundukkan pandangan, maka kita harus merealisasikan hal-hal berikut ini[19]:
  1. Takwa kepada Allah Ta’ala dan takut akan siksa-Nya
  2. Menjahui segala sebab yagn mengakibatkan terlepasnya padangan
  3. Merealisasikan syukur dengan sebenarnya
  4. Puasa
  5. Berdoa dan mohon pertolongan kepada Allah.
  6. Berteman dengan orang-orang yang shalih dan meninggalkan teman yang buruk
  7. Takut akan su’ul kha>timah
  8. Menikah, karena mempercepat pernikahan merupakan pencegahan yang paling kuat.

Ibnu Qayyim berkata[20]: ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari menundukkan pandangan:
  1. Membersihkan hati dari derita penyesalan
  2. Mendatangkan cahaya kegembiraan bagi hati
  3. Mewarisi firasat yang benar
  4. Membuka jalan dan pintu ilmu serta mempermudahkan sarana untuk mendapatkan ilmu
  5. Menumbuhkan kekuatan, keteguhan, dan keberanian dalam hati
  6. Menumbuhkan kebahagiaan dan kesenangan dalam hati
  7. Membersihkan hati dari kejahatan nafsu syahwat
  8. Menutup pintu neraka jahanam
  9. Menguatkan dan mengokohkan akal
  10. Membebaskan hati dari syahwat yang memabukkan dan kelalaian yang melenakkan


Menurut penulis penyebab pandangan liar ialah karena lemahnya iman dan pemahaman agama yang dimiliki, sehingga dengan mudahnya mengikuti hawa nafsu dan langkah-langkah setan, selain itu juga karena faktor lingkungan yang tidak baik. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Abu Maryam Thariq bin ‘Athif. Untuk solusi agar terjaganya pandangan penulis sangat sepakat dengan apa yang telah dirumuskan oleh Abu Maryam Tahriq bin ‘Athif. Menjaga pandangan akan membuat hati menjadi bersih serta membebaskan diri dari berbagai keburukan yang akan ditimbulkan oleh pandangan liar.

Setelah ayat yang lalu Allah memerintahkan kepada kaum lelaki mukmin agar menahan pandangan (al-Nu>r (24): 30), kini perintah serupa ditunjukkan kepada kaum wanita mukminah dan merupakan penghargaan dari Allah Ta’ala bagi suami mereka serta sebagai perbedaan antara mereka dengan wanita jahiliyah dan perilaku wanita musyrik (al-Nu>r (24): 31)[21]. Ayat ini menyatakan; وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, sebagaimana perintah kepada kaum lelaki mukmin untuk menahannya, وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا dan  di samping itu janganlah mereka menampakkan hiasan  yakni bagian tubuh mereka yang dapat merangsang lelaki kecuali yang biasa nampak darinya atau kecuali yang terlihat tanpa maksud untuk ditampak-tampakkan, seperti wajah dan telapak tangan[22]. Maka dalam hal ini mereka tidak akan mendapat siksaan. Lain halnya jika mereka menampakan perhiasan yang harus disembunyikan[23].

Dalam memahami makna penggalan ayat ini “ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ” menurut M. Quraish Shihab[24] terjadi perselisihan akan maknanya oleh para ulama, khususnya makna kata illa>. Ada yang berpendapat kata illa> adalah istisna> muttas}il yang berarti “yang dikecualikan merupakan bagian/jenis dari apa yang disebutkan sebelumnya”, dan yang dikecualikan dalam penggalan ayat ini adalah zi>nah atau hiasan. Ini berarti ayat tersebut berpesan: “Hendaknya janganlah wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka, kecuali apa yang tampak”.

Redaksi ini jelas tidak lurus, karena apa yang tampak, tentu sudah kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu, lahir paling tidak tiga pendapat lain guna lurusnya pemahaman redaksi tersebut[25]. Pertama, memahami kata illa>  dalam arti tetapi atau dalam istilah ilmu bahasa arab istisna> munqat}i’ dalam arti yang dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini bermakna: “Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama sekali; tetapi apa yang nampak (secara terpaksa/tidak sengaja-seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dimaafkan. Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat dimaksud menjadikan penggalan ayat ini mengandung pesan lebih kurang: “Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa jika berbuat demikian. Tetapi jika tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa.

Jika dipahami dengan kedua pendapat di atas, tidak menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan, sehingga berarti seluruh anggota badan tidak boleh tampak kecuali dalam keadaan terpaksa. Ketiga,  memahami firman-Nya “kecuali apa yang tampak “ dalam arti yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak. Kebutuhan  di sini dalam arti menimbulkan kesulitan bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami penggalan ayat ini dalam arti ketiga. Penulis sepakat dengan pendapat yang ketiga ini.

Setelah melarang menampakkan perhiasan, selanjutnya Allah  Ta’ala memerintahkan; “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”, yakni sekitar leher dan dada agar mereka berbeda dari wanita jahiliyah yang suka membukakan dada, leher, dan kepang rambutnya[26].

Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada kaum wanita yang berhijrah pada tahap pertama, karena mereka ketika Allah menurunkan ayat; وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ, mereka segera mengambil pakaian mereka lalu berkerudung dengannya[27]. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari ‘Aisyah ra.;

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ الْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ  وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ  أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا[28]

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Nafi' dari Al Hasan bin Muslim dari Shafiyyah binti Syaibah bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha pernah berkata; Tatkala turun ayat: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya.. (An Nuur: 31). Maka mereka langsung mengambil sarung-sarung mereka dan menyobeknya dari bagian bawah lalu menjadikannya sebagai kerudung mereka.

Ayat di atas merupakan larangan bagi wanita untuk memperlihatkan perhiasannya (aurat) kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka. Mereka semua merupakan mahram bagi wanita sehingga perhiasannya terlihat oleh mereka, maka tidak mengapa, asal tidak sengaja dipertontonkan. Adapun suami diperkenankan untuk melihat dan menikmati seluruhnya. Dan bagi mahram yang lainnya boleh melihat wanita selain apa yang ada di antara pusat dan lutut[29].

Selanjutnya pengecualian untuk sesama wanita, budak, pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat kepada wanita dan anak-anak.  Sesama wanita yakni  wanita-wanita yang beragama Islam. Karena mereka wanita dan keIslamannya menghalangi mereka menceritakan rahasia tubuh wanita yang dilihatnya kepada orang lain berbeda dengan wanita non muslim yang boleh jadi mengungkap rahasia keindahan tubuh mereka[30]. Hamba sehaya (budak), mayoritas ulama menurut Ibnu Katsir berpendapat bahwa wanita muslim boleh kelihatan perhiasan di hadapan budaknya baik laki-laki maupun perempuan[31], M. Quraish Shihab menambahkan, karena wibawa tuannya menghalangi mereka (budak lelaki/perempuan) berbuat  usil[32]. Pelayan laki-laki  yakni yang tidak memiliki hasrat dan keinginan terhadap wanita, Ibnu Abbas berkata; “ yang dimaksud ialah orang sakit mental yang tidak memiliki syahwat[33], dan anak-anak yakni yang belum memahami tentang wanita dan auratnya (seks).” Di hadapan mereka itu seorang wanita diperbolehkan untuk memperlihatkan perhiasannya, artinya bahwa wanita Muslimah boleh tidak menutup auratnya secara tidak sempurna karena akan tetap aman dari fitnah. Inilah kemudahan Islam dan untuk menjaga kemaslahatan[34].

Ibnu Katsir berkata[35] “ wanita jahiliyah, jika berjalan di tengah jalan dan di kakinya terdapat perhiasan yang suaranya tidak terdengar, ia memukulkan kakinya ke tanah, sehingga laki-laki bisa mendengarkan gemerincingnya perhiasan itu”. Lalu Allah Ta’ala melarang wanita mukmin melakukan hal seperti itu “dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”. Demikian pula menurut Ibnu Katsir apabila wanita memakai perhiasan yang tersembunyi, lalu tubuhnya digerakkan agar perhiasannya tampak, maka ini juga termasuk yang dilarang oleh Allah Ta’ala. M. Quraish Shihab menambahkan, akibat suara yang lahir dari cara berjalan mereka itu, dan pada gilirannya merangsang kaum lelaki[36]. Disamping itu wanita mukminah juga dilarang untuk memakai parfum dan wewangian lainnya ketika keluar rumah agar dicium bau wanginya oleh kaum lelaki[37].  Sebagaimana sabda Rasul SAW berikut ini;

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ ثَابِتِ بْنِ عُمَارَةَ الْحَنَفِيِّ عَنْ غُنَيْمِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِي زَانِيَةً وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ[38]

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Qattan dari Tsabit bin 'Umarah Al Hanafi dari Ghunaim bin Qais dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Setiap mata memiliki bagian dari zina, dan wanita yang memakai wewangian kemudian lewat di perkumpulan (lelaki) berarti dia begini dan begini." Maksud beliau berbuat zina. Dan dalam bab ini ada juga hadits dari Abu Hurairah, Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih.

Kemudian Allah Ta’ala menutup ayat ini dengan firman-Nya; وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  “dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung” yakni, kerjakanlah aturan dan perilaku mulia yang diperintahkan Allah kepadamu dan tinggalkanlah  perbuatan buruk kaum jahiliyah. Karena keberuntungan sejati terdapat pada pelaksanaan perkara yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dan dalam meninggalkan perkara yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. Agar orang mukmin mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat[39]. Menurut penulis perintah Allah Ta’ala serta larangan-Nya dalam Surah an-Nu>r (24): 30-31 merupakan langkah preventif agar kita tidak terjebak kepada perbuatan yang amat keji lagi buruk yakni zina.



[1] Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2002), h. 234
[2] Ibid., h. 235. Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) h. 488,
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 9, h. 324
[4] Abu Maryam Thariq bin ‘Athif, Ghadhdhul Bashar diterjemahkan oleh Ummu Hanan Dzakiyya dengan Judul Ketika Mata Mesti Dijagai  (Solo: Mumtaza, 2010), h. 12, Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 9, h. 324
[5] Abu Maryam Thariq bin ‘Athif, ibid., h. 14
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 9, loc.cit.,
[7] Ibid.,
[8] Muslim bin al-Hajja>j Abu Husain al-Qusyari al-Naisa>buri, S}ah}ih} al-Muslim, Juz 3, op.cit., h. 1699-1700
[9] Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Sajistani, Sunan Abi Daud, juz 2 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tt) h.  246
[10] Muslim bin al-Hajja>j Abu Husain al-Qusyari al-Naisa>buri, S}ah}ih} al-Muslim, Juz 4, op.cit., h. 2047
[11] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, op.cit., h. 486
[12] Ibid., h. 103-104
[13] Abu Maryam Thariq bin ‘Athif, op.cit., h. 18
[14] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, loc.cit.,
[15] Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Ima>m Ahma>d bin Hanbal, Juz 33, op.cit., h. 235
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya; Edisi yang disempurnakan, Jilid III, h.595
[17] Lihat, Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, op.cit., h. 487
[18] Abu Maryam Thariq bin’Athif, op. cit., h. 81-88
[19] Ibid., h.  91-94
[20] Ibid.,
[21] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, op.cit., h. 488
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 9, op.cit., h. 326
[23] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz18, h.175, lihat, Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kas|ir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 18, op.cit., h. 489
[24] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 9, op.cit., h. 329-330
[25] Ibid.,
[26] Al Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, loc.cit.,
[27] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz18, op.cit.,  h.176
[28] Muhammad bin ‘Ismail abu ‘Abdullah al-Bukha>ri al-Ja’fi,  S}ah}ih} al-Bukha>ri, Juz  6. Op.cit., h. 109
[29] Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an, op.cit., h. 41
[30] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 9, op.cit., h. 327
[31] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, op.cit., h. 491
[32] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 9,  loc.cit
[33] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, h. 492
[34] Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an, op.cit., h. 42
[35] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, op.cit., h. 493  dan Muhammad Ali Ash-Shabuny, Ibid., h. 43,
[36] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 9,  loc.cit.,
[37] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, loc. cit., dan Ali Ash-Shabuny, Ibid., h. 44
[38] Abu Isa Muhammad Bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir – Sunan at-Tirmidzi, Juz 4 (Beirut: Dar al-Gharib al-Islam, 1998) h. 403
[39] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, loc. cit.,


Subscribe to receive free email updates:

7 Responses to "Tafsir Surah An-Nuur (24) Ayat 30-31 - Perintah untuk Menundukan (Menjaga) Pandangan"

Terima Kasih Sudah Berkunjung dan Silakan Tinggalkan Jejak dengan Berkomentar di Sini. Semoga Bermanfaat !