Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 59 Tentang Kewajiban Menutup Aurat

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 59 Tentang Kewajiban  Menutup Aurat

A.    SURAH AL-AHZAB (33) : 59

 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ 
غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”


B.    MUNASABAH DAN ASBABUN NUZUL SURAH AL-AHZAB (33) : 59

1)    Munasabah

Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menjelaskan bahwa orang yang menyakiti para mukminin atau mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. Pada ayat-ayat berikut ini, Allah memerintahkan Rasul SAW supaya menyuruh para istrinya dan kaum mukminat untuk berusaha menghindarkan diri dari berbagai tuduhan dengan jalan menutup aurat sehingga tidak mudah dijadikan bahan permainan atau pelecehan oleh orang-orang munafik yang berniat jahat.

2)    Sababun Nuzul

حَدَّثَنِي زَكَرِيَّاءُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَمَا ضُرِبَ الْحِجَابُ لِحَاجَتِهَا وَكَانَتْ امْرَأَةً جَسِيمَةً لَا تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا سَوْدَةُ أَمَا وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ تَخْرُجِينَ قَالَتْ فَانْكَفَأَتْ رَاجِعَةً وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي وَإِنَّهُ لَيَتَعَشَّى وَفِي يَدِهِ عَرْقٌ فَدَخَلَتْ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي خَرَجْتُ لِبَعْضِ حَاجَتِي فَقَالَ لِي عُمَرُ كَذَا وَكَذَا قَالَتْ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ ثُمَّ رُفِعَ عَنْهُ وَإِنَّ الْعَرْقَ فِي يَدِهِ مَا وَضَعَهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ[1]

"Telah menceritakan kepadaku Zakaria bin Yahya Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Bapaknya dari Aisyah radliallahu 'anha dia berkata; "Pada suatu ketika Saudah keluar untuk hajatnya sesudah diwajibkannya hijab atas para wanita." Ia berkata; "Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar sehingga mudah sekali orang mengenalnya." Kemudian Umar melihatnya, dia pun memanggilnya; Wahai Saudah! Sungguh saya bisa mengenalimu, jika kamu keluar maka lihatlah bagaimana kamu keluar." Akhirnya Saudah berbalik pulang kepada Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam yang ketika itu beliau sedang makan malam di rumahku, ditangan beliau ada sepotong daging. Saudah pun masuk seraya berkata; Ya Rasulullah, Aku keluar untuk keperluanku, lalu Umar berkata begini dan begitu kepadaku. Aisyah berkata; Lalu Allah mewahyukan kepada beliau (al-ahzab (33): 59) dan ketika wahyu telah tersampaikan padanya sepotong daging tersebut masih terdapat di tangan beliau tanpa beliau letakkan. Kemudian beliau bersabda: "Telah diperbolehkan bagi kalian untuk keluar dalam rangka memenuhi hajat kalian."

Pada permulaan masa Islam, di Madinah masih banyak orang jahat yang suka mengganggu wanita, sebab para wanita pada waktu itu masih selalu memakai pakaian harian sebagaimana pada masa jahiliyah, sehingga tidak dapat dibedakan antara orang yang terhormat dan orang yang tidak terhormat. Terkadang mereka mengganggu wanita Muslimah dengan dalih tidak dapat mengenalnya, dan menyangkanya sebagai wanita yang tidak terhormat. Untuk menghindari gangguan tersebut, serta menjaga kehormatan wanita muslimah ayat di atas turun menyatakan kepada Nabi SAW agar memerintahkan kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya dan wanita-wanita keluarga orang-orang mukmin agar mereka mengulurkan atas diri mereka yakni ke seluruh tubuh mereka dengan jilbab[2].

C.    TAFSIRNYA

Menurut M. Quraish Shihab[3], ayat di atas tidak memerintahkan Muslimah untuk memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian dari mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang di kehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya”, ini berarti mereka telah memakainya, tetapi belum mengulurkanya. Oleh sebab itu terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah SWT berfirman; “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya”. Sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak, yang baik-baik atau yang kurang sopan hampir dapat dikatakan sama. Karena itu lelaki usil sering kali mengganggu wanita-wanita khususnya mereka ketahui atau diduga sebagai hamba sahaya. Berkenaan dengan makna ayat ini, as-Suddi berkata[4]; "Beberapa orang dari kelompok orang-orang yang fasik di Madinah keluar di malam hari ketika gelap menyelimuti malam. Mereka keluar ke jalan yang ada di Madinah dengan sasaran mengganggu wanita. Tempat-tempat tinggal di Madinah memang sempit-sempit. Sehingga, pada malam harilah biasanya wanita buang hajat di tempat yang ditentukan. Kemudian orang-orang yang fasik itu mencari-cari kesempatan dan cela untuk menggoda dan mengganggu mereka. Bila mereka melihat wanita yang mengenakan jilbab, mereka berkata, “Wanita ini adalah wanita yang merdeka.” Dan, mereka tidak berani mengganggunya. Namun, bila mereka me­lihat wanita yang tidak mengenakan jilbab, mereka berkata,”Wanita ini adalah budak.” Dan, mereka pun mengganggu dan melecehkannya.”

Al-Maraghi menambahkan, bahwa wanita muslimat, apabila keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan, maka wajib mengulurkan pada tubuhnya pakaian-pakaiannya, sehingga seluruh tubuh dan kepalanya tertutup tanpa memperlihatkan sesuatu pun dari bagian-bagian tubuhnya yang dapat menimbulkan fitnah seperti kepala, dada, dua lengan dan sebagainya[5]. Oleh sebab itu Mujahid berkata, "Mereka mengenakan jilbab agar dikenal sebagai wanita yang merdeka”. Se­hingga, tidak seorang pun dari orang-orang fasik yang berani menjadikan mereka sebagai sasaran  pelecehan[6]. Sebagaimana firman-Nya; “Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu”. Yakni dikenal sebagai wanita-wanita terhormat atau sebagai wanita muslimah atau wanita merdeka, dan mereka tidak akan ganggu atau dilecehkan kehormatannya[7]. Dan firman-Nya; “Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”, yakni Maha Pengampun atas perbuatan yang dilakukan pada masa jahiliyah, pada saat mereka  belum mengenakan jilbab[8]. Menurut penulis ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari perintah menutup aurat, yakni terjaganya kesucian hati, terhindari dari gangguan laki-laki (pelecehan), terhindar dari peluang terjerumus dalam perzinahan, dan dipandang sebagai wanita yang mulia dan terhormat.

Adapun “aurat” dalam bahasa Arab berasal dari kata-kata sebagai berikut[9]; pertama, ‘awira (عور) yang berarti hilang perasaan. Jika digunakan untuk mata maka itu hilang cahayanya dan lenyap penglihatannya. Pada umumnya kata ini memberikan arti yang tidak baik dan dipandang memalukan dan mengecewakan. Artinya jika kata ini menjadi sumber kata “aurat ” maka berarti sesuatu yang mengecewakan dan dipandang tidak baik. Kedua, ‘a>ra (عار) yang berarti menutup dan menimbun seperti menutup mata air dan menimbunnya. Ini berarti pula bahwa aurat adalah sesuatu yang ditutup dan ditimbun sehingga tidak dapat dilihat dan dipandang. Ketiga, A’wara (اعور) yaitu sesuatu yang jika dilihat akan mencemarkan atau sesuatu yang akan mencemarkan bila nampak. Menurut penulis dari ketiga kata tersebut dapat dipahami bahwa aurat adalah sesuatu yang akan menjadi aib dan menimbulkan rasa malu serta berakibat buruk apabila ia ditampakkan. Kewajiban menutup aurat tidak hanya diperuntukkan kepada wanita tetapi juga lelaki. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut ini;

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. al-A’raf (7): 26)

Para ulama telah sepakat tentang kewajiban menutup aurat, namun berbeda pendapat dalam menetapkan batasan aurat. Adapun aurat laki-laki dan perempuan terhadap orang lain, sebagai berikut:

1. Aurat Wanita
  • Aurat wanita terhadap mahramnya yakni bagi mahram boleh melihat kecuali apa yang ada di antara pusat dan lutut[10]. Adapun terhadap suami tidak ada aurat, suami diperkenankan untuk melihat dan menikmati seluruhnya (al-Mu’minun (23): 6).
  • Aurat wanita terhadap wanita, terhadap sesama wanita muslim dibolehkan menampakkan perhiasan (aurat) kecuali antara pusat dan lutut. Sedangkan untuk wanita non muslim maka semuanya adalah aurat sama halnya aurat wanita terhadap laki-laki.
  • Aurat wanita terhadap laki-laki, para ulama telah sepakat bahwa bahwa wanita harus menutup seluruh tubuh mereka (al-Ahzab (33): 59). Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki termasuk aurat atau tidak[11].


1) Asy-Syafi’iyyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat dengan alasan[12]:
  • Firman Allah Ta’ala; “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya”  (an-Nur (24): 31). Menurut kedua kelompok ini ayat tersebut merupakan pengharaman kepada wanita untuk menampakkan perhiasaanya. Mereka memahami makna “illa ma zahara minha ” bahwa yang dimaksud ayat ini ialah “menampakkan tanpa sengaja” seperti tersingkap angin, baik wajah ataupun anggota lainnya.
  • Firman Allah Ta’ala “ Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri rasul), maka mintalah dari belakang tabir” (al-Ahzab (33) : 53 ).
  • Firman Allah Ta’ala surah Al-ahzab (33) : 59 mereka menafsirkan kata al-Idna’ (mengulurkan) dengan menutup seluruh bagian wajah dan hanya membuka mata untuk melihat.
  • Hadits Ibnu Mas’ud “ Wanita adalah aurat. Jika keluar, maka setan menaunginya. (HR. At-Tirmidzi, Khuzaimah dan Thabrani)

           Menurut kelompok ini bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh mereka, haram memandang wajah dan kedua telapak tangannya, baik dikhawatirkan timbul fitnah ataupun dalam kondisi aman dari fitnah karena tidak adanya syahwat dalam dirinya.

2) Al-Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan, dengan alasan[13]:
  • Bahwa firman Allah Ta’ala “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya”  (an-Nur [24]: 31). Ayat tersebut mengecualikan “apa yang biasa tampak”, yang dimaksudkannya ialah wajah dan dua telapak tangan.
  • Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Asma’ binti Abu Bakar menemui rasulullah saw. Dengan memakai baju yang cukup tipis, rasul berpaling seraya berkata; “ Hai Asma’, sesungguhnya wanita telah haid tidak pantas terlihat kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud)
  • Hadits Ibnu Abbas tentang peristiwa yang melibatkan Al-Fadhl bin Abbas yang sedang dibonceng oleh Nabi Saw pada saat haji wada’ dan wanita yang bertanya kepada beliau. Dalam penggalan hadits itu disebutkan, “Al-Fadhl bin Abbas mulai meliriknya, karena memang wanita itu cantik jelita. Melihat hal itu, Nabi Saw segera memegang dagu Al-Fadhl dan memalingkan wajahnya ke arah lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Ibnu Hazm berkata,” seandainya wajah termasuk aurat, maka tentu harus ditutup dan Rasul saw tidak akan membiarkan wanita itu membukkannya di depan orang banyak. Beliau akan menyuruhnya menutup wajah dengan kain dari bagian atas kepalanya. Disisi lain, seandainya wajah wanita itu tertutup, maka Ibnu Abbas tidak dapat mengetahui apakah dia cantik jelita atau buruk rupa.
  • Mereka mengatakan bahwa di antara dalil yang memperkuat pendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan adalah bukan aurat ialah bahwa melakukan shalat dan ihram, wanita harus membuka wajah dan dua telapak tangannya. Seandainya anggota badan tersebut termasuk aurat, niscaya tidak diperbolehkan membuka keduanya pada waktu mengerjakan sholat dan ihram, sebab menutup aurat adalah wajib, tidak sah sholat atau ihram seseorang jika terbuka auratnya.

Masih banyak dalil yang mereka ungkapkan dan kesemuanya menjelaskan fakta bahwa kaum wanita di zaman Nabi saw biasa membuka wajah dan telapak tangan[14]Meskipun kelompok ini membolehkan wajah dan telapak tangan untuk dilihat akan tetapi, mereka memberikan batasan dibolehkannya untuk melihat yakni keduanya boleh dilihat jika tidak disertai syahwat. Akan tetapi jika dikhawatirkan memimbulkan syahwat, maka tidak boleh melihatnya. Jika dalam kondisi darurat dibolehkan melihatnya sekalipun disertai syahwat.


Menurut Penulis adapun mengenai perbedaan antara kedua kelompok ini, merupakan perselisihan (khilaf) yang termasuk perselisihan yang wajar dan tidak perlu menolak pendapat yang berbeda dengan keras. Serta kita dapat memilih salah satunya sesuai dengan keinginan kita dan  berlapang dada akan adanya perbedaan ini.

2. Aurat Laki-laki

Ulama fiqih berbeda pendapat mengenai yang wajib ditutupinya, menurut Hanafiyah aurat laki-laki adalah bagian tubuh yang ada di pusar sampai lutut, sebagaimana sabda Nabi “ sesungguhnya apa yang terdapat di bawah pusar sampai lutut adalah aurat ” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Daruqutni). Sedangkan lutut adalah bagian menurut Hanafiyah. Menurut Syafi’iyah dan Hanbilah lutut bukan bagian dari aurat alasan mereka hadis nabi saw yang menyatakan: “aurat orang mukmin antara pusar dan lutut” (HR. Baihaqi)

Menurut mereka yang dipandang sebagai aurat hanyalah “terletak antara pusar dan lutut”. kendati demikian menurut Bety pusar dan lutut wajib juga ditutup, karena terkait dengan menutup bagian yang terdapat pada keduanya. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi “sesuatu yang menyempurnakan suatu kewajiban hukumnya wajib”[15].

Menurut penulis ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menutup aurat, yakni hendaknya pakaian menutupi had aurat yang telah ditetapkan, tidak tipis dan tidak transparan, longgar (tidak ketat), bukan pakaian yang menyerupai orang kafir, bukan pula yang menyerupai laki-laki bagi perempuan dan bukan yang menyerupai perempuan bagi laki-laki, serta bukan pakaian yang menarik perhatian (mencolok, berlebihan, tabarruj).

Inilah etika pergaulan antara laki-laki dengan perempuan yang penulis temukan dalam al-Qur’an yakni larangan mendekati zina, menundukkan pandangan, tidak melunakkan ucapan, tidak bertingkah laku jahiliyah dan menutup aurat. Setiap apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah Ta’ala pastilah membawa kebaikan untuk umat manusia. Tidak satupun yang diperintahkan dan dilarang-Nya tersebut membawa keburukan. Allah Ta’ala berfirman:

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah (2): 216)

Baca Juga:

Referensi:
[1] Muhammad bin ‘Ismail abu ‘Abdullah al-Bukha>ri al-Ja’fi,  S}ah}ih} al-Bukha>ri,  Juz 6. op.cit., h. 120
[2] Jalabib Jamak dari jilbab, yaitu baju kurung yang meliputi seluruh tubuh wanita, lebih dari sekedar baju biasa dan kerudung. Lihat, Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 22, op. cit., h. 59, lihat Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an Tafsir Tematik Surat An-Nu>r-Fathir, h. 536-537
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 11, op.cit.,  h. 321
[4] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid IX, op.cit., h. 289
[5] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 22, op.cit., h. 61
[6] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid IX , loc.cit.,
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Volume 11, op.cit., h. 320
[8] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir  Jilid 3, op.cit., h. 902
[9] Lihat, Bety,  Tinjauan Hukum Islam Tentang Pornografi dan Pornoaksi ( STAIN Bengkulu : Majalah Hawa, edisi II, Vol. 1, 2007), h. 16-21
[10] Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an. h. 41
[11] Abu Maryam Thariq bin ‘Athif, Ghadhdhul Bashar, h. 49, Lihat, Bety,  Tinjauan Hukum Islam Tentang Pornografi dan Pornoaksi, h. 19
[12] Abu Maryam Thariq bin ‘Athif, Ibid.,  h. 52-54, Lihat  Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisaa, ditermahkan oleh Asep Sobari, lc dengan Judul Fiqih Sunnah untuk Wanita, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007) h. 527-529
[13] Abu Maryam Thariq bin ‘Athif, Ibid., h. 50-52  Lihat  Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisaa, Ibid., h. 530-532
[14] Lihat dalam kitab Jilbab al-Mar’atil Muslimah, Albani. H. 96 dan selanjutnya
[15] Lihat, Bety,  Tinjauan Hukum Islam Tentang Pornografi dan Pornoaksi, loc.cit.,



Subscribe to receive free email updates:

17 Responses to "Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 59 Tentang Kewajiban Menutup Aurat"

  1. Benar" mengingatkan para wanita (khususnya aku) utk menunup aurat. Thank you kak

    ReplyDelete
  2. Jazakallah khair, smg nasehatnya dapat memberi hikmah dan manfaat.

    ReplyDelete
  3. Jazakallah khair, smg nasehatnya dapat memberi hikmah dan manfaat.

    ReplyDelete
  4. waw lengkap... ini ilmu bermanfaat, benar2 memberikan pengetahuan

    ReplyDelete
  5. Sangat bermanfaat.. terima ksh pencerahannya

    ReplyDelete
  6. wah bahasannya agak berat nih hehehe,,,tpi mantaf, pencerahan bagi kita kita

    ReplyDelete
  7. Terima kasih, ini jadi refleksi diri semoga bisa lebih memperbaiki diri 😊

    ReplyDelete
  8. Terimakasih, mantap ini perlu di share, agar kaum hawa mengerti bahwa menutup aurat adalah kewajiban dan perintah Allah..

    ReplyDelete

Terima Kasih Sudah Berkunjung dan Silakan Tinggalkan Jejak dengan Berkomentar di Sini. Semoga Bermanfaat !